PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN DI INDONESIA
Sesungguhnya kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Kemiskinan merupakan istilah temurun pemerintah dahulu, sebelum kemerdekaan hingga pemerintahan saat ini. Pertanyaannya kemudian seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia hingga saat ini? Jawabannya mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini.
A. Fenomena Kemiskinan di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi [makro] semata.
Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai "sesuatu" yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.
Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik, maupun hukum. Sedangkan menurut Koerniatmanto Soetoprawiryo, sebagian besar orang persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere dimana orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata.
B. Kondisi Masyarakat Miskin di Indonesia
Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Tahun 2006, Bappenas mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat "signifikan." Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan "Nasi Aking."
Menurut Hasil Sensus Nasional terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) telah merekam data perkembangan terbaru mengenai angka kemiskinan di Indonesia. Kepala BPS, Rusman Heriawan mengakui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 memang telah berkurang 1,51 juta orang menjadi 31,02 juta orang (13,33 persen) dibandingkan dengan Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang. Namun, angka kemiskinan itu masih terbilang tinggi.
Jika membandingkan antar daerah, BPS mencatat sejumlah wilayah masih menghadapi persoalan kemiskinan yang tinggi. Bahkan, angka kemiskinan yang tertinggi itu justru terjadi di wilayah dengan kekayaan sumber alam melimpah, seperti Papua dan Papua Barat. Prosentase angka kemiskinannya mencapai 34-36 persen, jauh lebih besar dibandingkan rata-rata nasional sebesar 13,33 persen.
Selain Papua, propinsi lain yang memiliki prosentase penduduk miskin tinggi adalah Maluku, Nusa Tenggara, Aceh, Bangka Belitung dan lainnya. Jumlah penduduk di propinsi-propinsi tersebut yang memang tidak sebanyak di Jawa, tetapi secara prosentase dibandingkan total penduduk di wilayah tersebut, kelompok orang miskinnya sangat tinggi.
10 Propinsi dengan Angka Kemiskinan Tertinggi (%)
No Propinsi Angka Kemiskinan
1 Papua Barat 36,80
2 Papua 34,88
3 Maluku 27,74
4 Sulawesi Barat 23,19
5 Nusa Tenggara Timur 23,03
6 Nusa Tenggara Barat 21,55
7 Aceh 20,98
8 Bangka Belitung 18,94
9 Gorontalo 18,70
10 Sumatera Selatan 18,30
( Sumber: Sensus Nasional BPS 2010 )
Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
C. Solusi Pemberantasan Kemiskinan di Indonesia
Permasalahan kemiskinan di Indonesia tentu memiliki dampak yang cukup banyak dan begitu kompleks terhadap masyarakat. Salah satu diantaranya yaitu pengangguran. Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata. Dampak lain yang ditimbulkan yaitu kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
Berdasarkan dampak-dampak yang muncul akibat kemiskinan tersebut, kuncinya harus ada pada kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang dari pemerintah selaku pengemban tanggungjawab negara ini. Pemerintah harus lebih memfokuskan pada sektor ekonomi riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.
Yang perlu dicermati bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Salah satu misalnya, yaitu pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "buttom-up intervention" dengan padat karya atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha [enterpreneur]. Salah satu program ini cukup efektif jika dicanangkan sebagai kebijakan ekonomi pemerintah demi mengentas permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Sesungguhnya terdapat banyak organisasi yang terlibat dalam pengembangan wirausaha kecil. Namun, sejauh ini belum dilakukan pemetaan mengenai jumlah dan penyebarannya, sehingga kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi yang tepat dan akurat tentang jumlah dan kinerja organisasi tersebut.
Untuk lebih mengefektifkan pembinaan kewirausahaan bagi rakyat miskin ini, pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan inventarisasi, pemetaan, dan pendataan seluruh organisasi-organisasi kewirausahaan yang ada.
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa membina sektor wirausaha kecil ini harus dilakukan secara terpadu, baik dengan instansi terkait, Pemda, koperasi, perbankan, swasta, kelompok perguruan tinggi maupun kelompok swadaya masyarakat.
Pada umumnya, pembinaan sektor kewirausahaan ini dapat dilakukan melalui kelompok, atau dibina melalui koperasi. Bentuk-bentuk pembinaan terhadap masayarkat miskin lebih difokuskan pada bidang pendidikan, pelatihan, konsultasi, penyuluhan, pengembangan kewirausahaan, dan program pengentasan kemiskinan lainnya.
Saat ini, telah banyak organisasi yang berpengalaman atau membuat program pembinaan wirausaha kecil semacam ini. Pengalaman demikian harus menjadi perhatian pemerintah untuk menggalakkan program jitu ini agar menumbuhkembangkan sikap dan mental kewirausahaan bagi masyarakat miskin, khususnya di pedesaan demi memberantas problem kemiskinan di negara Ibu Pertiwi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Iwantono, Sutrisno. 2002. Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta: PT. Grasindo
www. kompas. com
www.bps.go.id
http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/02/22/081829/1303963/471/indonesia-dan-problem-kemiskinan
http://petikdua.wordpress.com/2010/10/16/pengaruh-bantuan-asing-terhadap-kemiskinan-di-indonesia-studi-kasus-proyek-pemberantasan-kemiskinan-adb-di-indonesia/
http://hmjanfisipunsoed.blogspot.com/2010/10/paradoks-pemahaman-kebijakan-publik.html
Senin, 13 Desember 2010
REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN
REFORMASI SISTEM PERPAJAKAN
Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan reformasi sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
PAJAK SEBELUM REFORMASI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan reformasi atau pembaharuan sistem perpajakan nasioanal dewasa ini, terlebih dahulu kita lihat tonggak-tonggak sejarah khususnya sebelum tahun 1984 (masa pembaharuan sistem).
Sebelum Kemerdekaan
Pemberlakuan sistem pajak sebelum kemerdekaan di Indonesia memang sejak dulu ada dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda pada masa sekitar tahun 1920-an.
Pada perkembangan sistem pajak pertama, diawali dengan adanya pemberlakuan pajak di wilayah kerajaan di Indonesia, yaitu Kerajaan Mataram dan Jawa di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada saat itu, tujuan penarikan pajak di kerajaan Mataram hanya merupakan wujud loyalitas rakyat kepada rajanya. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Sepanjang pemerintahan Mataram, raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom. Sedangkan di kerajaan Jawa ditandai dengan adanya gambaran tentang petani Jawa yang dibebani pajak berat oleh kerajaan. Pungutan yang seolah-olah tak ada hentinya tersebut merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi masyarakat tradisional Jawa khususnya.
Ada perbedaan mencolok dari dua sistem pajak di dua wilayah kerajaan tersebut, yaitu pertama, Jawa sebagai kerajaan agraris pajak terutama dipungut dalam bentuk natura dan kerja wajib, sedangkan pada Mataram sebagai kerajaan maritim pajak dipungut dari bidang perdagangan. Kedua, Jawa sebagai kerajaan agraris memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada raja dan tanah milik mereka tidak bisa disembunyikan hasilnya sehingga berakibat ketaatan membayar pajak, sedangkan Mataram sebagai kerajaan maritim memiliki sumber pendapatan yang mudah disembunyikan dan raja mengandalkan penerimaan pajak dari hasil perdagangan.
Perkembangan sistem pajak selanjutnya, ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam sistem pemungutan dan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Belanda belum mempunyai personalia dan peralatan yang memadai. VOC sebagai badan perdagangan saat itu tidak memungut pajak pada penduduk kota atau daerah yang dikuasainya secara langsung, tetapi VOC malah memiliki monopoli penjualan candu, garam, dan lain-lain di luar pajak perdagangan. Melihat hal tersebut, Gubernur Jenderal Daendels saat itu pun mengadakan pemungutan pajak secara langsung dari pintu gerbang (tolpoorten) dan Pajak Penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffless menjadikan adanya sebuah pembaharuan sistem pajak. Sistem pajak tersebut kemudian dikenal dengan landrente stelsel, yang mengambil contoh sistem dari Benggala (India). Sistem pajak tanah tersebut menurut Raffless, jika petani menjual produksinya maka mereka mempunyai uang bagi membayar pajak tanah dan membeli tekstil sebagai bentuk daya beli mayarakat.
Seiring berjalannya waktu, pemberlakuan sistem pajak oleh birokrasi pemerintahan kolonial tersebut menuai banyak bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya petani. Memang selama penjajahan, ciri yang melekat dalam sejarah perpajakan sering menyebabkan kehebohan di kalangan rakyat. Karena pajak itu beban berat dan dirasakan berat lagi, dan pajak merupakan ungkapan dari meluasnya mesin kolonial. Dalam kasus tersebut, rakyat bangkit melawan suatu bentuk penindasan dan dalam mengungkapkan kekecewaannya, mereka secara samar-samar mengeluarkan rasa benci terhadap pajak yang meningkat, pekerjaan, dan pungutan yang dituntut pemerintah kolonial.
Produk Undang-Undang Pajak Kolonial semakin menampakkan ciri eksploitasi karena disususn untuk sarana memaksa dan pada hakikatnya sebagaimana kebijaksanaan kolonial lainnya dilandasi kepentingan penjajah. Dan pada masa itu, pajak benar-benar merupakan beban bagi rakyat baik secara ekonomi maupun sosial dikarenakan sistem pemungutan, penetapan, dan semata-mata sebagai sarana menghimpun dana yang digunakan oleh penjajah saat itu, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada unsur stabilitas, apalagi pemerataan dan keadilan.
Setelah kemerdekaan
Sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
PAJAK SETELAH REFORMASI
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tahun 1960-1982
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak.
Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan mem bayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a) Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b) Menhitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.
Tahun 1983-sekarang
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPNtelah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.
Dalam membahas tentang perpajakan Indonesia, hal terpenting yang tidak boleh dilupakan adalah telah munculnya sistem perpajakan walaupun pada tingkat yang sederhana sejak masa kerajaan tertua di Indonesia. Dalam perkembangannya, sejarah perubahan sistem perpajakan selalu berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya. Berikut akan dipaparkan perkembangan reformasi sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia.
PAJAK SEBELUM REFORMASI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pelaksanaan reformasi atau pembaharuan sistem perpajakan nasioanal dewasa ini, terlebih dahulu kita lihat tonggak-tonggak sejarah khususnya sebelum tahun 1984 (masa pembaharuan sistem).
Sebelum Kemerdekaan
Pemberlakuan sistem pajak sebelum kemerdekaan di Indonesia memang sejak dulu ada dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda pada masa sekitar tahun 1920-an.
Pada perkembangan sistem pajak pertama, diawali dengan adanya pemberlakuan pajak di wilayah kerajaan di Indonesia, yaitu Kerajaan Mataram dan Jawa di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada saat itu, tujuan penarikan pajak di kerajaan Mataram hanya merupakan wujud loyalitas rakyat kepada rajanya. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban. Sepanjang pemerintahan Mataram, raja-raja sudah melaksanakan hidup swasembada dan otonom. Sedangkan di kerajaan Jawa ditandai dengan adanya gambaran tentang petani Jawa yang dibebani pajak berat oleh kerajaan. Pungutan yang seolah-olah tak ada hentinya tersebut merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi masyarakat tradisional Jawa khususnya.
Ada perbedaan mencolok dari dua sistem pajak di dua wilayah kerajaan tersebut, yaitu pertama, Jawa sebagai kerajaan agraris pajak terutama dipungut dalam bentuk natura dan kerja wajib, sedangkan pada Mataram sebagai kerajaan maritim pajak dipungut dari bidang perdagangan. Kedua, Jawa sebagai kerajaan agraris memiliki ketergantungan yang sangat kuat kepada raja dan tanah milik mereka tidak bisa disembunyikan hasilnya sehingga berakibat ketaatan membayar pajak, sedangkan Mataram sebagai kerajaan maritim memiliki sumber pendapatan yang mudah disembunyikan dan raja mengandalkan penerimaan pajak dari hasil perdagangan.
Perkembangan sistem pajak selanjutnya, ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam sistem pemungutan dan penerimaan pajak. Hal tersebut dikarenakan pemerintah Belanda belum mempunyai personalia dan peralatan yang memadai. VOC sebagai badan perdagangan saat itu tidak memungut pajak pada penduduk kota atau daerah yang dikuasainya secara langsung, tetapi VOC malah memiliki monopoli penjualan candu, garam, dan lain-lain di luar pajak perdagangan. Melihat hal tersebut, Gubernur Jenderal Daendels saat itu pun mengadakan pemungutan pajak secara langsung dari pintu gerbang (tolpoorten) dan Pajak Penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah jadi.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Gubenur Jenderal Raffless menjadikan adanya sebuah pembaharuan sistem pajak. Sistem pajak tersebut kemudian dikenal dengan landrente stelsel, yang mengambil contoh sistem dari Benggala (India). Sistem pajak tanah tersebut menurut Raffless, jika petani menjual produksinya maka mereka mempunyai uang bagi membayar pajak tanah dan membeli tekstil sebagai bentuk daya beli mayarakat.
Seiring berjalannya waktu, pemberlakuan sistem pajak oleh birokrasi pemerintahan kolonial tersebut menuai banyak bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat, khususnya petani. Memang selama penjajahan, ciri yang melekat dalam sejarah perpajakan sering menyebabkan kehebohan di kalangan rakyat. Karena pajak itu beban berat dan dirasakan berat lagi, dan pajak merupakan ungkapan dari meluasnya mesin kolonial. Dalam kasus tersebut, rakyat bangkit melawan suatu bentuk penindasan dan dalam mengungkapkan kekecewaannya, mereka secara samar-samar mengeluarkan rasa benci terhadap pajak yang meningkat, pekerjaan, dan pungutan yang dituntut pemerintah kolonial.
Produk Undang-Undang Pajak Kolonial semakin menampakkan ciri eksploitasi karena disususn untuk sarana memaksa dan pada hakikatnya sebagaimana kebijaksanaan kolonial lainnya dilandasi kepentingan penjajah. Dan pada masa itu, pajak benar-benar merupakan beban bagi rakyat baik secara ekonomi maupun sosial dikarenakan sistem pemungutan, penetapan, dan semata-mata sebagai sarana menghimpun dana yang digunakan oleh penjajah saat itu, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada unsur stabilitas, apalagi pemerataan dan keadilan.
Setelah kemerdekaan
Sistem perpajakan Indonesia yang digunakan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ternyata sebagian besar masih merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
PAJAK SETELAH REFORMASI
Seiring berjalan waktu, perubahan sistem pajak sebelum reformasi tersebut merasa perlu untuk diperbaiki, atau diperbaharui demi menemukan sistem perpajakan yang sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tahun 1960-1982
Pada awal masa Orde Baru (1960-an), pemerintah melancarkan pembenahan sistem fiskal, terutama dalam sistem perpajakannya. Para pengamat pembangunan di Indonesia yang sinis dan kritis mengatakan bahwa pada masa Orde Baru dalam kebijakannya untuk menutup defisit anggaran bagi pengeluaran yang meningkat perlu diimbangi dengan penerimaan yang cukup besar terutama ditekankan pada sektor pajak.
Berpijak pada Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966, pemerintah Orde Baru pun berusaha merealisasikan kemajuan pembangunan dengan meningkatkan pemasukan atau penghasilan melalui Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dengan mengubah sistem perpajakan, yakni perbaikan administrasi perpajakan dengan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan pajak, perubahan tingkatan pajak, dan perubahan struktur pajak.
Usaha pembaruan sistem perpajakan mulai tampak nyata, yairu dengan pengiriman oleh Menteri Keuangan Frans Seda pada tanggal 17 Juli 1969 kepada Pimpinan DPR Gotong Royong di Jakarta perihal Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak.
Pada akhirnya, diadakan perubahan atas perundang-undangan pajak yang agak mendasar pada tahun 1967 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 Jo Peraturan Pemerintah No. 11 perubahan Tahun 1967 mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, yang secara umum dikenal dengan sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain).
Konsep MPS dan MPO merupakan pembaruan sistem pemungutan pajak dimana kalau sebelumnya kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian besar dilaksanakan sepihak oleh aparat pajak, maka dalam sistem yang baru mengalami perubahan. Sistem pemungutan lama telah mengalami kegagalan dan karenanya diperkenalkan tata cara pemungutan pajak MPS dan MPO dimana peran utama bukan dari aparat pajak, melainkan dari wajib pajak itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan tata cara MPS dan MPO adalah :
a) MPS adalah tata cara dimana wajib pajak menghitung dan mem bayar sendiri jumlah pajak-pajak; pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang menurut Undang-Undang Pajak tersebut yang terhutang dalam satu masa pajak.
b) Dalam rangka pelaksanaan tata cara MPO tersebut di atas, maka dapat ditunjukkan orang atau badan lain yang melakukan perhitungan pajak yang bersangkutan dalam satu masa pajak.
Pengenalan sistem MPS dan MPO ini, merupakan suatu bentuk self assesment dan semi assesment seperti yang telah diterapkan di AS, Jepang, dan negara lain dimana wajib pajak diberi kewajiban untuk:
a) Menghitung sendiri besarnya pendapatan, kekayaan ataupun laba.
b) Menhitung sendiri besarnya pajak pendapatan, kekayaan, dan perseroan yang terhutang serta menyerahkan kepada kas negara.
Adanya perubahan tersebut masih dihadapkan pada masalah pengetahuan dan disiplin wajib pajak yang ada, karena sistem tersebut dipengaruhi pengetahuan dan disiplin wajib pajak.
Beberapa fenomena tentang munculnya sistem MPS dan MPO dengan sekaligus telah memberi gambaran bahwa pada masa Orde Baru, kondisi ekonomi masyarakat telah membutuhkan suasana baru dalam perpajakan. Setelah mengalami pembahasan yang memakan cukup waktu, akhirnya DPR Gotong Royong pada tanggal 26 Agustus 1967 mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 dengan memberlakukan tata cara MPS dan MPO. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967 yang ditetapkan 19 September 1967 merupakan peraturan pelaksanaannya.
Tahun 1983-sekarang
Usaha pemerintah RI dalam rangka pembaruan sistem perpajakan menjadi sistem perpajakan yang sesuai dengan hakikat dan martabat bangsa ternyata tidak berhenti begitu saja.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1967 yang bertujuan agar diperoleh efektifitas yang lebih maksimal malah tidak memberikan kesesuaian pencapaian sasaran pembinaan wajib pajak dan aparat pajak itu sendiri sesuai yang diharapkan. Pada dasarnya, tata cara pemungutan pajak telah diusahakan menggunakan pola modern, namun acuan perundang-undangannya masih mempergunakan undang-undang warisan kolonial. Itulah suatu kenyataan yang bertolak belakang dan perlu dibenahi lagi. Sepanjang sistem perpajakan dilandasi oleh ketentuan kolonial maka belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana penunjang ciat-cita bangsa dan pembangunan nasional yang dilaksanakan sekarang ini. Kondisi yang kurang kondusif dalam sistem perpajakan, seperti halnya pemberlakuan tarif pajak yang beragam, prosedur perpajakan yang berbeli-belit pun semakin menunjukkan bahwa sistem perpajakan tersebut masih berada di bawah standar sistem perpajakn kolonial.
Dalam tempo dua tahun, antara Desember 1983 sampai dengan Desember 1985, Pemerintah RI pun mampu menjebol dan menggantikan secara total sistem perpajakan kolonial menjadi PSPN (Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional). PSPN ini merupakan tindak lanjut penyempurnaan dari sistem MPS dan MPO yang telah ditetapkan pada Tahun 1967 sebelumnya. PSPN yang merupakan Undang-Undang Pajak baru yang diterapkan ini mencakup PSPN tahap I, meliputi Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang PPh, Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN. Dan PSPN tahap II, meliputi Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang PBB, dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang BBM.
Perubahan mendasar yang telah dilakukan dalam PSPN adalah pertama, pemungutan pajak lama yang telah ditekankan pada kewajiban yang dipaksakan telah diganti dengan pola pemungutan sebagai bentuk perwujudan peran serta warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai pembangunan. Kedua, sistem pemungutan pajak official assesment yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assesment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan utang pajak serta mempertanggungjawabkannya. Ketiga, sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam PSPN maka fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan.
Maksud utama PSPN adalah dalam rangka peningkatan jumlah wajib pajak. Prasarana pendukung PSPNtelah dilakukan melalui usaha penerangan, pelayanan, pemeriksaan, dan sistem informasi serta law enforcement yang dilakukan secara berkesinambungan. Reformasi perpajakan tersebut juga telah mendasari perubahan struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak yang sudah tidak mampu menampung tugas dalam organisasi yang ada. Usaha yang dilakukan adalah bekerja sama dengan departemen dan lembaga pemerintahan lain untuk menggali perluasan NPWP (Nomor Pembayaran Wajib Pajak) yang baru.
Petunjuk awal dari keberhasilan PSPN mulai tampak pada tahun 1985, yaitu dengan meningkatnya jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan secara nasional. Namun demikian, kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut masih menunjukkan hal-hal yang belum mencapai sasaran yang diharapkan, sebagai akibat belum adanya koordinasi antar departemen. Sedangkan Inspeksi Pajak masih membatasi diri dalam bertindak memaksa wajib pajak untuk memiliki NPWP.
Sistem perpajakan baru yang meliputi undang-undang, mekanisme dan aparat serta faktor ekonomi, sosial dan politik yang mendukung, minimal telah menjadi faktor penentu keberhasilan PSPN dalam bentuk kenaikan jumlah wajib pajak badan maupun perseorangan yang pada gilirannya akan menyebabkan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak.
Dengan dikeluarkannya seperangkat undang-undang perpajakan baru sebagai jawaban atas kebutuhan sistem perpajakan modern yang sesuai falsafah Indonesia, maka tindak lanjut yang berkenaan dengan pelaksanaan menuju keberhasilan pada masa akan datang adalah masalah pemasyarakatan undang-undang tersebut sebagai bagian dari hukum publik, sehingga masyarakat sebagai basis pajak tidak buta terhadap dasar hukum sistem perpajakan yang ada. Untuk itu, sistem penginformasian perlu senantiasa terus diupayakan melalui sarana media massa yang langsung menjangkau sampai di kalangan masyarakat wajib pajak yang perlu dihargai hak dan kewajibannya. Kampanye yang mendorong kesadaran masyarakat untuk secara sadar membayar kewajiban pajaknya perlu diupayakan dan didukung oleh peningkatan kualitas aparat pajak sebagai ujung tombak Dirjen Pajak dalam melayani masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)